Minggu, 22 Januari 2012. Di sela - sela kesibukan teman - teman BSB mempersiapkan sosialisasi kampus ke SMA sederajat di Kabupaten Bojonegoro, sejenak teman - teman mengadakan suatu acara yang bertajuk jelajah potensi Bojonegoro. Selain sebagai wadah untuk menghilangkan kepenatan setelah UAS serta menghilangkan rasa stres mengurusi sosialisasi kampus. Bertempat di selatan alun - alun Bojonegoro rombongan berkumpul pukul 10.00, kurang lebih satu tajam kami menunggu teman - teman rombongan lain. Kali ini BSB tidak sendiri karena ada teman - teman dari HIMABO UM dan IKAMARO (Ikatan Mahasiswa Bojonegoro) UIN Malang. Usai menunggu hampir satu jam rombongan pun memutuskan berangkat ke tempat tujuan yaitu Desa Jono, namun sebelum berangkat ke sana kami terlebih dahulu menjemput Pak Dhe Uban yang menjadi pemandu wisata kami. Di sinilah ada kesalahan komunikasi, rombongan kami terpecah menjadi tiga, ada yang ikut ke rumah Pak Dhe Uban, ada yang langsung ke Jono, sementara 5 anggota BSB lainnya masih menjemput temannya di Dander. Tapi semua itu lancer karena adany suatu komunikasi yang lancer, meskipun kami terpisah kami tetap bertemu langsung di Desa Jononya, tepatnya di Pasar Desa setempat yang terletak di pinggir jalan Raya Bojonegoro - Nganjuk.
Dua puluh menit perjalanan dari rumah Pak Dhe Uban di kawasan Pacul Permai kami tiba di Sanggar Seni Desa Jono, disana Ketua Umum BSB Dimas Indra dan Ketua Umum HIMABO UM Dimas atau yang akrab disapa Mas Teng sudah berada di tempat bersama satu anak BSB dan Pak Dhe Uban. Keramahan khas masyarakat pedesaan menyambut kami tim ekspedisi jelajah potensi Bojonegoro ini di Desa Jono, Kecamatan Temayang. Meski tidak begitu mewah sambutan yang mereka berikan sungguh membuat kami merasa senang dan nyaman. Tak lupa kami mengabadikan momentum ini dalam sebuah foto bersama tiga ormada dari malang ini. Usai berfoto penjelajahan kami yang sebenarnya Bukit Fosfat yang terletak tepat di belakang Sanggar Seni Desa Jono. Perjalanan yang lumayan menguras tenaga, setelah menguji adrenalin melewati jembatan titian dengan hanya beralaskan sebuah besi di atas, serta bambu sebaga pegangannya. Perjalanan kami tak terasa semakin berat, batu - batu terjal nan medan yang menanjak serta udara panas bercampur jadi satu di badan kami. Sembilan belas pemuda mahasiswa yang luar biasa tak menyerah sedikit pun mencapai puncak bukit fosfat di Desa Jono, didampingi Pak Dhe Uban, Pak Hari selaku ahli fosil yang juga menemani kami jelajah potensi Bojonegoro edisi pertama di Drenges, Sugihwaras lalu, serta tiga orang dari pihak sanggar seni Desa Jono terus berjuang menaklukkan medan.
Perlahan namun pasti kami mulai mencapai puncak, tanaman jagung menjadi pemandangan kiri kanan rombongan tim ekspedisi, bahkan tak jarang kita memasuki area perkebunan jagung yang tinggi sehingga membut suasana semakin menyejukkan hati, terlebih angin bertiup sepoi - sepoi meski dalam keadaan panas. Tapi udara yang panas tidak membuat semangat teman - teman gentar. Ekspedisi kali ini tak kalah menantangnya dengan jelajah di desa Drenges lalu, kerja sama tim amat diperlukan di sini hal ini dikarenakan medan yang menanjak membuat setiap orang naik ke yang lebih tinggi harus dibantu uluran tangan orang yang di atasnya. Namun inilah petualangan mencapai suatu tujuan, tanpa adanya kerjasama semuanya akan mustahil dilalui dengan lancar.
Hampir setengah jam kami melewati jalan setapak dengan dasar bebatuan dan tanah yang agak licin karena diguyur hujan sehari sebelumnya. Tiba di Bukit Fosfat kami didampingi Pak Hari langsung beraksi mencari beberapa fosil hewan laut yang terdapat di daerah ini. Tak berapa lama Pak Hari mendapatkan sebuah fosil kerang yang lengket di bebatuan, ini membuat fosil itu harus dibawa dengan batunya. Hampir satu jam tim ekspedisi kami berada di bukit fosfat tersebut, beberapa fosil kerang - kerang laut kami temukan. Pemandangan kawasan Temayang dan sekitarnya tampak begitu terlihat jelas bebas dari atap bukit Fosfat itu. Namun yang ironis sejauh mata memandang hutan Bojonegoro yang dulu lebat kini sudah tinggal kenangan, termasuk di area tim ekspedisi berdiri dulunya merupakan kawasan hutan lebat yang beralih fungsi menjadi perkebunan jagung dan kacang tanah. Desa Jono yang dulu lebat dengan pemandangan hutannya kini tampak terasa gersang.
Tak terasa waktulah yang memisahkan kita, jam menunjukkan pukul 14.30 ketika rombongan memutuskan untuk kembali turun, perjalanan turun tampaknya tak semudah yang kami bayangkan. Medan yang masih licin membuat kami harus ekstra hati - hati ketika menuruni bukit Fosfat ini, salah sedikit nyawa yang akan jadi taruhannya. Namun perjalanan turun kali ini lebih cepat dari perjalanan kami naik karena kami mengambil jalan pintas sehingga tidak memutar lagi, dimana ketika kami naik ke puncak bukit Fosfat. Sekitar dua puluh menit berjalan kaki kami akhirnya kembali sampai di perkampungan warga, lagi - lagi kami harus melintasi jembatan titian dengan sebuah besi berdiameter sekitar 30 cm yang menjadi satu - satunya penghubung sungai menuju bukit Fosfat dan perkebunan warga sekitar sana. Kembali ke sanggar seni desa Jono, suasana sudah tampak ramai karena malam itu juga disana akan diadakan pertunjukkan seni komunitas seni suket, dan sore itu saat mereka untuk mempersiapkan terakhir kalinya jelang pentas sehabis isya nantinya. Kedatangan tim ekspedisi dari bukit Fosfat tampak menarik warga sekitar Jono, mereka tampak memperhatikan kami dua puluh pemuda dengan berjalan tanpa alas kaki tersebut.
Pada hari itu perjalanan kami berakhir ketika matahari berlahan mulai tenggelam di ufuk barat desa Jono tepat di balik bukit Fosfat yang kami mendaki tadi. Tampak garis awan merah dari belakang sanggar seni desa Jono menandakan malam akan tiba. Sore itu kami beserta rombongan memutuskan untuk berpamitan dengan pihak sanggar seni dan Kepala Desa setempat yang juga sedang berada di sanggar seni desa Jono. Catatan ekspedisi kami hari ini, kita haruslah sadar dan peka dengan potensi yang kita miliki, termasuk potensi akan wisata seni dan budaya, terlebih nilai fosil - fosil itu yang tinggi jangan sampai penduduk sekitar dan Bojonegoro kurang paham akan hal itu dan menjadi penonton di rumah sendiri. Semua itu kembali pada diri kita masing - masing bagaimana dan apa yang akan kita lakukan? Memilih untuk tidak tahu, tidak peka, tidak menghiraukan keadaan selamanya, atau memilih untuk tahu, peka, dan berkeinginan merubah keadaaan yang belum memuaskan meski dengan perjuangan dan tantangan yang tidak akan mudah.
0 komentar:
Posting Komentar